RSS : Articles / Comments


Ayah Penjaga

21.49, Posted by Ch. Yosefina, No Comment

Tersebutlah seorang ayah yang mempunyai anak. Ayah ini sangat menyayangi anaknya. Di akhir minggu, si ayah mengajak anaknya untuk pergi ke pasar malam. Mereka pulang sangat larut. Di tengah jalan, si anak melepas seat beltnya karena merasa tidak nyaman. Si ayah sudah menyuruhnya memasang kembali, namun si anak tidak menurut. Benar saja, di salah satu tikungan, ada sebuah mobil lain melaju kencang tak terkendali. Ternyata pengemudinya mabuk. Tabrakan tak terhindarkan. Si ayah selamat, namun si anak terpental keluar. Kepalanya membentur aspal, dan menderita gegar otak yang cukup parah. Setelah berapa lama mendekam di rumah sakit, akhirnya si anak siuman. Namun ia tidak dapat melihat dan mendengar apapun. Buta tuli. Si ayah dengan sedih, hanya bisa memeluk erat anaknya, karena ia tahu hanya sentuhan dan pelukan yang bisa anaknya rasakan.
Begitulah kehidupan sang ayah dan anaknya yang buta-tuli ini. Dia senantiasa menjaga anaknya. Suatu saat si anak kepanasan dan minta es, si ayah diam saja. Sebab ia melihat anaknya sedang demam, dan es akan memperparah demam anaknya. Di suatu musim dingin, si anak memaksa berjalan ke tempat yang hangat, namun si ayah menarik keras sampai melukai tangan si anak, karena ternyata tempat 'hangat' tersebut tidak jauh dari sebuah gedung yang terbakar hebat.
Suatu kali anaknya kesal karena ayahnya membuang liontin kesukaannya. Si anak sangat marah, namun sang ayah hanya bisa menghela nafas. Komunikasinya terbatas. Ingin rasanya ia menjelaskan bahwa liontin yang tajam itu sudah berkarat. Namun apa daya si anak tidak dapat mendengar, hanya dapat merasakan. Ia hanya bisa berharap anaknya sepenuhnya percaya kalau papanya hanya melakukan yang terbaik untuk anaknya.
Saat-saat paling bahagia si ayah adalah saat dia mendengar anaknya mengutarakan perasaannya, isi hatinya. Saat anaknya mendiamkan dia, dia merasa tersiksa, namun ia senantiasa berada disamping anaknya, setia menjaganya. Dia hanya bisa berdo'a dan berharap, kalau suatu saat Allah dapat memberi mujizat. Setiap hari jam 4 pagi, dia bangun untuk mendo'akan kesembuhan anaknya. Setiap hari.
Beberapa tahun berlalu. Di suatu pagi yang cerah, sayup-sayup bunyi kicauan burung membangunkan si anak. Ternyata pendengarannya pulih! Anak itu berteriak kegirangan, sampai mengejutkan si ayah yang tertidur di sampingnya. Kemudian disusul oleh pengelihatannya. Ternyata Allah telah mengabulkan do'a sang ayah. Melihat rambut ayahnya yang telah memutih dan tangan sang ayah yang telah mengeras penuh luka, si anak memeluk erat sang ayah, sambil berkata. "Ayah, terima kasih ya, selama ini engkau telah setia menjagaku."
Sahabatku, terkadang seperti Anak itulah tingkah kita. Terkadang kita Buta dan Tuli, tidak mau sedikit pun mendengar dan melihat sekeliling kita. Tapi Allah sebagai AYAH YANG BAIK dan SETIA pada Kita. Dia selalu dengan Sabar Menuntun dan Menolong Kita.

Kiriman mBak Evi

Selengkapnya...

Bai Fang Li, si Tukang Becak

02.16, Posted by Ch. Yosefina, No Comment

Namanya BAI FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.

Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melalang dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong.Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Kejadian yang Mulai Merubah Pandangan Hidupnya
Bai Fang Li mulai tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun.
Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.

Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana. "Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya...." jawab anak itu. "Orang tuamu dimana...?" tanya Bai Fang Li.
"Saya tidak tahu...., ayah ibu saya pemulung.... Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil..." sahut anak itu.

Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.

Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan membeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm... tapi masih cukup bagus... gumannya senang.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

"Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini...," katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

Dalam Memberi, Bai Fang Li Tak Pernah Menuntut Apapun
Bai Fang Li memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan manfaat dari uang sumbangannya.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan......" katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis........

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan "Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luarbiasa".

Bila SESEORANG yang miskin menyumbang dari kekurangannya, maka ia adalah salah satu PENGHUNI SURGA yang diutus ke dunia, yang mengajarkan kita untuk selalu BERSYUKUR dan selalu BERBAGI kepada sesama.
Kiriman SKK Isat
Selengkapnya...

8 Kebohongan Seorang Ibu

02.37, Posted by Ch. Yosefina, No Comment

Cerita ini bermula ketika saya masih kecil, kebetulan Saya dilahirkan dalam keluarga yang berkekurangan. Hidup kami hanya pas-pasan. Pernah seharian kami hanya mendapatkan sebungkus nasi dan ibu memberikannya kepada saya. Sambil menuangkan nasi ke dalam piring saya, Ibu berujar "Makanlah nasi ini, Nak! Ibu tidak lapar.". Ini Kebohongan Pertama Ibu.

Beranjak remaja, di waktu luang, ibu sering pergi memancing di sungai dekat rumah kami, ibu berharap dari ikan yang beliau tangkap, beliau bisa memberikan sedikit makanan yang lebih bergizi untuk petumbuhan anak-anaknya. Kurang beruntung, kali ini Ibu hanya mendapat 2 ikan saja, lantas beliau membuat sup ikan seadanya. Ibu mendampingiku selama makan, Ibu cukup memakan apa yang masih tersisa yang ada ditulang ikan sisa yang telah saya makan, hati saya terharu melihatnya. Dengan sumpit saya ambilkan ikan lain yang masih utuh untuk Ibu tapi dia langsung menolaknya dan segera berkata, "Makan ikan ini, nak, ibu tidak suka ikan.!". Ini Kebohongan Kedua Ibu.

Untuk pendidikan kami, Ibu kulakan di Pabrik Korek api , dibawanya pulang beberapa kotak besar penuh batangan korek api. Sesampai di Rumah, batang korek api itu diisikannya ke kotak-kotak korek api yang kecil, siap untuk dijual eceran kembali. . Hal ini dilakukan semata-mata agar anak-anaknya bisa mendapatkan biaya untuk pendidikan yang terbaik.
Di suatu malam yang dingin Saya terbangun dan mendapati Ibu mengisi kotak korek api tersebut dengan hanya diterangi cahaya lilin. Lalu Saya berkata, "Ibu, tidurlah, hari sudah larut malam, Ibu bisa melanjutkannya besuk pagi.” "Ibu tersenyum dan berkata" . Pergilah tidur, Nak! Ibu tidak lelah. "
Ini Kebohongan Ketiga Ibu.

Ketika saya menempuh Ujian Akhir, Ibu selalu menemani belajar saya hingga fajar. Begitupun ketika ujian berlangsung Ibu menunggu saya selama berjam-jam tanpa mempedulikan panasnya terik matahari. Ketika bel berbunyi, Saya berlari menemuinya, Ibu pun memeluk saya dan memberikan segelas teh yang telah beliau siapkan di termos. Dalam hati saya bergumam ” Cinta Ibu-ku lebih kuat dari sekedar Teh ini, biarpun teh ini sangat-sangat menyegarkan”. Ketika kulihat wajah ibu yang penuh dengan peluh, Saya segera memberikan gelas dan meminta ibu untuk minum juga. Namun Ibu berkata "Minumlah nak, Ibu tidak haus!".
Ini Kebohongan Keempat Ibu.

Setelah Bapak meninggal, Ibu menjadi single parent. Dia harus bekerja sendiri, bahkan lebih keras lagi untuk membiayai kebutuhan hidup kami yang semakin berat. Kami sering kelaparan.
Melihat kondisi keluarga kami memburuk, Paman kami yang baik yang tinggal di dekat rumah kami membantu sebisanya. Bahkan tetangga kami yang simpati sering menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tapi Ibu menolak untuk menikah lagi dan mengatakan "Saya tidak butuh cinta."
Ini Kebohongan ibu yang kelima.

Setelah saya menyelesaikan studi dan mendapatkan pekerjaan, sudah waktunya bagi Ibu saya yang semakin tua itu untuk pensiun. Tetapi ibu tidak mau berhenti, setiap hari beliau pergi ke pasar hanya untuk menjual sebakul sayuran. Saya terus mengirim uang, tapi beliau teguh dan bahkan mengirimkan kembali uang tersebut ke saya. Dia berkata, "Saya masih punya cukup uang. "
Itu adalah Kebohongan Keenam Ibu.

Didanai oleh American Corporation tempat saya bekerja saya dapat meneruskan studi untuk mengambil gelar Master, saya berhasil dalam studi saya dan mendapatkan imbalan sallary yang jauh lebih besar dari gaji sebelumnya, saya memutuskan untuk membawa ibu untuk menikmati hidup di Amerika, tetapi Ibu tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepada saya "Saya tidak terbiasa hidup high-class"
Itu adalah Kebohongan Ketujuh Ibu

Dalam pikun-nya, Ibu diserang oleh kanker dan harus dirawat di rumah sakit. Sekarang Ibu tinggal jauh di seberang lautan, Dalam kerinduan , saya putuskan pulang ke rumah untuk mengunjungi Ibu yang sedang terbaring di tempat tidur sehabis operasi. Ibu mencoba tersenyum, tapi saya sungguh terpukul karena dia begitu kurus dan lemah tetapi Ibu berkata, "Jangan menangis, nak, Ibu tidak sakit.!"
Itu adalah Kebohongan Kedelapan Ibu.Sekaligus kalimat terakhir Ibu, dan Beliau menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya, Beliau meninggal.

YA, IBU ADALAH MALAIKATKU !

M - O - T - H - E - R



"M" is for the Million things she gave me,
"O" means Only that she's growing old,
"T" is for the Tears she shed to save me,
"H" is for her Heart of gold,
"E" is for her Eyes with love-light shining in them,
“R " means Right, and right she'll always be,



Bagi Anda yang beruntung masih memiliki Ibu sampai hari ini , bersyukurlah. Bagi mereka yang sudah tidak memiliki Ibu, semoga cerita ini menjadi kenangan yang indah akan Ibu saudara. Amin


Kiriman dari Pak Ari teman KPKS 05 Bogor

Selengkapnya...