RSS : Articles / Comments


Cara Bijak Memberi

23.59, Posted by Ch. Yosefina, No Comment

Pada masa-masa susah di sebuah kota kecil Idaho, saya suka mengunjungi toko kecil di tepi jalan milik Mr Miller yang menyediakan produk segar hasil pertanian. Makanan dan uang cukup langka pada waktu itu...dan jual beli dilakukan dengan cara tukar menukar barang.
Satu hari, Mr Miller sedang mengepak kentang-kentang yang saya beli ketika tidak sengaja saya melihat seorang anak yang kecil kurus kelaparan, compang-camping tetapi bersih, nampak sedang memilih-milih kacang polong segar yang baru dipetik di keranjang. Saya membayar untuk kentang-kentang saya sambil ikut tertarik pada kacang polong tersebut. Saya adalah penjual kentang dan krim kacang. Saat menimbang kacang polong, tanpa sadari, saya ikut mendengarkan pembicaraan mereka.
"Halo Barry, bagaimana kabarmu hari ini?" tanya si pemilik toko.'Halo, Mr Miller. Saya baik, terima kasih ya. Saya cuma mengagumi kacang polong ini....tampak segar dan bagus-bagus"

"Itu memang bagus Barry. Bagaimana dengan ibu kamu? "

"Oh...dia membaik, dan nampak semakin kuat."

"Bagus. Apa ada yang bisa saya bantu? "

"Tidak, Sir. saya cuma mengagumi kacang polong ini. "

'Apakah kamu ingin beberapa untuk di bawa pulang? " kata Mr Miller.

"Tidak, Sir. Saya tidak ada uang untuk membayar. "

"Jika begitu, apa kamu punya sesuatu sabagai penukar?"

"Saya hanya punya beberapa kelereng hadiah."

"Apakah itu benar? Coba kulihat "kata Mr Miller.

"Ini .. bagus. "

"Aku bisa melihatnya. Hmm sayang warnanya biru sedang saya mencari warna merah. Apakah kamu memilikinya seperti ini di rumah? "

"Tidak persis tapi hampir sama. "

'Begini saja. Ambil saja dulu kacang polong ini, dan lain kali, kamu bawa kelereng kamu yang merah '. kata Mr Miller kepada anak itu.

"Tentu. Terima kasih Mr Miller. "

Ny Miller, yang sedang berdiri tidak jauh, datang untuk membantu saya. Dengan tersenyum dia berkata, "Ada dua anak laki-laki lain seperti dia di komunitas kami, ketiganya sama-sama sangat miskin. Jim suka tawar-menawar dengan mereka untuk kacang polong, apel, tomat, atau apa pun. Jika mereka kembali dengan warna yang diminta, Jim akan berkata bahwa dia sudah tidak mencari warna tersebut dan akan menanyakan warna lainnya. Tetapi Jim tetap memberikan apa saja yang mereka ingin tukarkan."

Saya meninggalkan toko sambil tersenyum sendiri, terkesan dengan orang ini. Beberapa waktu kemudian saya pindah ke Colorado, tapi saya tidak pernah lupa kisah tentang orang ini, anak-anak, dan cara barter mereka.

Beberapa tahun berlalu dengan cepat. Baru-baru ini saya memiliki kesempatan untuk mengunjungi beberapa teman lama di komunitas Idaho dan mendengar bahwa Mr Miller meninggal dunia. Teman-teman saya berencana untuk berkunjung sore itu dan saya sepakat untuk ikut.

Saat tiba di tempat jenasah disemayamkan, kita menemui keluarga almarhum untuk menyampaikan bela sungkawa dan kata-kata penghiburan. Di depan kami, nampak tiga orang muda. Salah satunya mengenakan seragam tentara dan dua lainnya berpotongan rambut bagus, setelan gelap dan kemeja putih ... semua tampak sangat profesional.

Mereka semua menghampiri Mrs Miller dan berdiri disampingnya sambil tersenyum kepada jenasah Mr Miller di dalam peti mati.

Setiap pemuda memeluknya, mencium pipi, bicara singkat dengannya dan pindah ke peti mati, dengan mata berkaca-kaca, satu per satu, masing-masing pemuda berhenti sebentar dan meletakkan tangan mereka di atas tangan yang pucat dingin di peti mati. Satu persatu meninggalkan tempat itu sambil menyeka mata.

Giliran kami datang menemui Ny Miller. Saya bilang padanya siapa saya dan mengingatkannya pada kisah dari tahun-tahun yang lalu dan ketika ia bercerita tentang suaminya yang suka berbarter untuk kelereng. Dengan mata berkaca-kaca, dia meraih tanganku dan membawa saya ke peti mati.

"Mereka tiga pemuda yang baru saja meninggalkan adalah anak laki-laki yang kuceritakan dulu.

Mereka hanya mengatakan kepada saya bagaimana mereka menghargai hal-hal yang Jim 'perdagangkan' pada mereka. Sekarang, pada akhirnya, ketika Jim sudah tidak bisa lagi meminta warna atau ukuran kelereng .... mereka datang untuk membayar utang mereka. "

'Kami tidak pernah memiliki banyak kekayaan di dunia ini, "ia mengaku," tapi sekarang, Jim akan menganggap dirinya orang terkaya di Idaho ..'

Dengan lembut, dia mengangkat jari-jari almarhum suaminya. Nampak disitu tiga buah kelereng warna merah yang bersinar indah.

Moral:
Orang mungkin tidak bisa mengingat semua perkataan kita, tetapi akan mengingat sagala perbuatan baik kita.
Hidup ini tidak diukur oleh nafas yang kita habiskan, tetapi oleh waktu yang kita habiskan untuk bernafas.

Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Sumber: milist teman
Selengkapnya...

Kasih Ibu dan Tiga Karung Berasnya

23.37, Posted by Ch. Yosefina, No Comment

Kisah ini adalah kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki seorang anak laki-laki. Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggallah ibu dan anak laki-lakinya untuk saling menopang. Ibunya bersusah payah seorang membesarkan anaknya, saat itu kampung tersebut belum memiliki listrik. Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak.
Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas. Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah sehingga tidak bisa lagi bekerja di sawah. Saat itu setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa tiga puluh kg beras untuk dibawa ke kantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibunya tidak mungkin bisa memberikan tiga puluh kg beras tersebut dan kemudian berkata kepada ibunya: "Ma, saya mau berhenti sekolah dan membantu mama bekerja di sawah". Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata "Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan kesekolah nanti berasnya mama yang akan bawa ke sana".
Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan ke sekolah, mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh mamanya. Sang anak akhirnya pergi juga ke sekolah. Sang ibunya terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh.
Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa ibunya datang ke kantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya. Pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata : "Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat, di sini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini tempat penampungan beras campuran". Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut.
Awal bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk ke dalam kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata: "Masih dengan beras yang sama". Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian berkata : "Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna. Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya".
Sang ibu sedikit takut dan berkata : "Ibu pengawas, beras di rumah kami semuanya seperti ini jadi bagaimana? Pengawas itu pun tidak mau tahu dan berkata : "Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa menanam bermacam- macam jenis beras". Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi.
Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali ke sekolah. Sang pengawas kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata: "Kamu sebagai mama kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama. Bawa pulang saja berasmu itu !". Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata: "Maafkan saya Bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis". Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk di atas lantai, menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan membengkak.
Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata: "Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah untuk membantuku bekerja di sawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi." Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada dikampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya.
Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi kekampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali kekampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan ke sekolah.
Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata: "Bu, sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu." Sang ibu buru-buru menolak dan berkata: "Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya, maka itu akan menghancurkan harga dirinya dan akan mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini."
Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam-diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut selama tiga tahun. Setelah tiga tahun kemudian, sang anak tersebut lulus masuk ke perguruan tinggi Qing Hua dengan nilai 627 point.
Di hari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini duduk di atas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang. Yang lebih aneh lagi di sana masih terdapat tiga kantong beras. Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah.
Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata : "Inilah sang ibu dalam cerita tadi." Dan mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik ke atas mimbar. Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat ke belakang dan melihat gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan. Pandangan mama yang hangat dan lembut kepada anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat mamanya dan berkata: "Oh Mamaku..................”
Pepatah mengatakan: "Kasih ibu sepanjang masa, sepanjang zaman dan sepanjang kenangan." Inilah kasih seorang mama yang terus dan terus memberi kepada anaknya tak mengharapkan kembali dari sang anak. Hati mulia seorang mama demi menghidupi sang anak berkerja tak kenal lelah dengan satu harapan sang anak mendapatkan kebahagiaan serta sukses di masa depannya.


Sumber : generasi minyak anggur/lh3

Selengkapnya...

Senyummu Sungguh Berarti

18.47, Posted by Ch. Yosefina, No Comment


Bukan karena hidup bahagia lalu
"kamu tersenyum",
Tapi karena kamu tersenyum maka
"hidup jadi bahagia"...

Bukan karena semua orang bersahabat lalu
"kamu tersenyum",
Tapi karena kamu tersenyum maka
"semua orang jadi bersahabat"...
Bukan karena pekerjaan menyenangkan lalu
"kamu tersenyum",
Tapi karena kamu tersenyum maka
"pekerjaan jadi menyenangkan"...

Bukan karena keluarga harmonis lalu
"kamu tersenyum",
Tapi karena kamu tersenyum maka
"keluarga jadi harmonis"...

Bukan dunia yang membuat
"kamu tersenyum",
Tapi senyumanmulah yg membuat
"dunia jadi tersenyum"...

:)You can...just Smile...:) kiriman dari rekan milist
Selengkapnya...